RUANGBOGOR - Sebuah baliho kontroversial di Banjar Uma, Kelurahan Sempidi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, menampilkan Calon Legislatif (Caleg) DPR Muhammad Zaini dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan nomor urut 7. Isu kontroversial ini mencuat setelah baliho tersebut viral di media sosial, menghebohkan warganet dan masyarakat Bali.
Muhammad Zaini secara terbuka menyatakan kesiapannya untuk dieksekusi tembak mati bila terlibat dalam tindak korupsi. Klaim ini membuatnya menjadi salah satu politikus yang menonjol di tengah kampanye Pemilihan Umum. Sebagian orang mungkin merasa terkejut, sementara yang lain mungkin menyambut positif sebagai bentuk komitmen anti-korupsi yang keras.
Zaini menegaskan bahwa keseriusannya dalam memperjuangkan memberantas korupsi adalah nyata. Dia menyatakan bahwa janji tersebut telah dibicarakan dengan pihak keluarga dan mendapatkan persetujuan sepenuhnya. Namun, pertanyaan muncul, apakah ini hanya sekadar retorika politik atau benar-benar merupakan komitmen nyata untuk memberantas korupsi?
Tidak hanya itu, Zaini juga berjanji untuk memberikan 90 persen dari gajinya dan semua tunjangan bagi umat. Menurutnya, perjanjian ini sudah tertuang dan ditandatangani di notaris. Namun, pertanyaan etis muncul apakah seorang Caleg memiliki wewenang untuk sepenuhnya menentukan penggunaan gajinya tanpa pertanggungjawaban yang jelas kepada lembaga atau aturan yang berlaku.
Sampai saat ini, baru lima dari sembilan kabupaten dan kota di Bali yang telah dibuatkan surat perjanjian oleh notaris. Ini menciptakan tanda tanya mengenai keterlaksanaan janji politik Zaini jika terpilih menjadi anggota dewan. Bagaimana mungkin janji tersebut akan diwujudkan dengan efektif, dan apakah hal ini hanya strategi kampanye belaka?
Baliho tersebut juga menampilkan dua Caleg lainnya yang tidak mengikuti visi siap ditembak mati bila terlibat korupsi. Mereka disebut hanya ikut nebeng di baliho tersebut. Ini menunjukkan perbedaan pendekatan dan pandangan di antara calon legislator, menimbulkan pertanyaan apakah janji tersebut akan memberikan keuntungan elektoral atau justru sebaliknya.
Kasus ini mengingatkan pada janji kontroversial seorang politikus terdahulu, Anas Urbaningrum, yang menyatakan kesiapannya digantung di Monas jika terbukti terlibat korupsi. Namun, pada akhirnya, janji tersebut terbukti hanya sebagai metafora, menciptakan polemik di antara masyarakat.