Investigasi Skandal Oplosan BBM Pertamax dari Pertalite : Siapa yang Bersalah?

Rabu, 26 Februari 2025 | 13:58:09 WIB

RUANGBOGOR - Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang oleh PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023 semakin terungkap. Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga adanya praktik oplosan BBM yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga. Perusahaan ini diduga membeli BBM jenis Pertalite dengan harga Pertamax, lalu mengoplosnya di depo atau storage hingga menjadi Pertamax.

Menurut Kejagung, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), melakukan pembelian Pertalite (RON 90) dengan harga Pertamax (RON 92), lalu mencampurnya sehingga seolah-olah produk tersebut adalah Pertamax asli. Praktik ini jelas melanggar ketentuan dan berpotensi merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun.

Selain RS, ada beberapa petinggi subholding Pertamina yang juga ditetapkan sebagai tersangka, yakni:

1. Yoki Firnandi (Direktur Utama PT Pertamina International Shipping)

2. Sani Dinar Saifuddin (Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional)

3. Agus Purwono (VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional)

Tidak hanya mereka, tiga broker yang terlibat dalam kasus ini juga ditetapkan sebagai tersangka, yakni MKAR, DW, dan GRJ, yang memiliki peran dalam distribusi dan pengadaan minyak mentah.

Praktik ilegal ini tidak hanya merugikan negara tetapi juga masyarakat sebagai konsumen. Mantan Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rolas Sitinjak, menegaskan bahwa tindakan ini melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Konsumen yang seharusnya mendapatkan BBM berkualitas Pertamax malah memperoleh produk oplosan yang tidak sesuai standar.

Dampaknya tidak hanya pada ekonomi, tetapi juga teknis. Pakar otomotif dari UGM, Jayan Sentanuhady, menjelaskan bahwa BBM dengan oktan rendah dalam kendaraan berteknologi tinggi dapat menyebabkan pembakaran tidak sempurna, knocking, penurunan akselerasi, serta penumpukan kerak karbon yang berisiko merusak mesin.

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Eko Hendro Purnomo, menilai bahwa kasus ini telah mencoreng kredibilitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia menekankan perlunya penguatan sistem pengawasan internal dan penerapan sanksi tegas bagi pihak yang terbukti bersalah, baik di tingkat eksekutif maupun pelaksana.

“Manajemen BUMN harus menerapkan ketentuan hukum secara ketat untuk menutup celah kecurangan seperti ini. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan agar publik kembali percaya pada Pertamina,” ujarnya.

Menanggapi tuduhan ini, VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, membantah adanya pengoplosan BBM. Ia menyatakan bahwa Pertamax yang beredar telah memenuhi standar spesifikasi dan tidak mengalami manipulasi.

Meski demikian, Kejagung tetap melanjutkan penyidikan dengan telah menetapkan tujuh tersangka utama. Investigasi ini menjadi pukulan besar bagi Pertamina dan menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana pengawasan dan tata kelola di tubuh BUMN tersebut dijalankan selama ini.

Kasus ini membuktikan bahwa lemahnya sistem pengawasan internal memungkinkan korupsi dalam skala besar. Kejagung telah mengidentifikasi dan menetapkan beberapa petinggi sebagai tersangka, namun masih ada pertanyaan apakah hanya mereka yang bersalah atau ada pihak lain yang terlibat lebih dalam.

Pemerintah dan DPR kini didesak untuk melakukan audit menyeluruh terhadap Pertamina, tidak hanya dalam distribusi BBM tetapi juga di seluruh lini bisnisnya. Jika kasus ini tidak ditangani dengan tegas, maka kepercayaan masyarakat terhadap BUMN, terutama yang bergerak di sektor energi, akan semakin tergerus.

Tags

Terkini