RUANGBOGOR.COM - Warga Pantai Watu Kodok terus mengupayakan ruang hidup di wilayah mereka yang saat ini diklaim sebagai Sultan Ground. Salah satu upaya perlawanan terbaru yang dilakukan oleh warga Pantai Watu Kodok adalah dengan cara membentangkan spanduk selamat datang di wilayah yang menjadi konflik dengan pihak Keraton Jogja.
Namun sebelum melakukan aksi tersebut, mereka terlebih dahulu menceritakan mengenai awal mula konflik. Penuturan tersebut disampaikan dalam kegiatan lokakarya jurnalis tentang Dinamika Ruang Hidup di Kawasan Karst: Gunungkidul, Provinsi Yogyakarta yang dilangsungkan di pada 20-22 September 2024.
Salah satu warga yang memberikan keterangan adalah Pak Tupar selaku Ketua Paguyuban Kawula Pesisir Mataram (PKPM) Watu Kodok. "Watu Kodok ini mengalami ketidakadilan. Awal konflik terjadi pada 2011, kami mendapatkan intimidasi. Setiap hari didatangi pengacaranya bu Enny Supiani. Jadi warga Watu Kodok ini dianggap menempati tanah yang bukan miliknya. Padahal kami dari tahun 1949 itu nenek moyang kami sudah mulai menggarap wilayah ini, dahulu ini kawasan pertanian," ujar Pak Tupar.
Diawali dengan upaya nenek moyang warga Watu Kodok berupaya membuka lahan pertanian untuk bercocok tanam. Saat itu mereka lebih memilih mata pencaharian sebagai petani dibandingkan mengelola tempat wisata.
Sebab ada kepercayaan wilayah pesisir pantai waktu itu angker, hanya orang yang sakti yang bisa masuk ke wilayah tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, warga sekitar berupaya untuk membuka jalan sebagai akses, awalnya untuk akses pertanian bukan pariwisata.
Lalu tren pariwisata di Gunungkidul semakin meningkat, seiring dengan populernya sejumlah wilayah seperti Pantai Baron, Sundak, dan Krakal. "Sejak saat itu pantai Watu Kodok ikut dilirik pengunjung. Mereka menikmati suasana keindahan alam di tempat ini. Lalu warga sini memberikan fasilitas parkiran. Kemudian tahun 2009-2011 kami membentuk kelompok kecil untuk memajukan pariwisata di tempat ini," kata Pak Tupar.
"Upaya tersebut dilakukan setelah banyak pengunjung merasa nyaman berwisata di sini, sebab pantai lainnya sudah terlalu ramai. Lalu kami mulai membangun sejumlah fasilitas seperti kamar mandi, warung makan, dll. Namun, ternyata wilayah ini ternyata juga dilirik oleh investor yang ingin membangun resort," sambungnya lagi.
Investor tersebut datang pada 2011 dengan membawa surat kekancingan dari Keraton Jogja. Serat Kekancingan adalah izin tertulis mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah dari Kasultanan atau Kadipaten kepada masyarakat/institusi yang diberikan dalam jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang/diperbarui.
Memasuki tahun 2014-2016, warga Watu Kodok mengalami intimidasi. Ada 15 bangunan yang sudah dirobohkan. Tetapi hingga saat ini banyak pedagang memilih untuk tetap bertahan meskipun lahan tempat mereka mengais rejeki masih menjadi konflik.
Untuk menyelesaikan konflik tersebut, Pak Tupar dan warga lainnya sudah mencoba melakukan audiensi ke pihak Keraton Jogja. Namun, pihak keraton malah tidak berpihak pada warga. Buktinya, pihak Keraton memasang portal di jalan menuju kawasan camping ground yang sedang dikembangkan oleh penduduk lokal.
Di depan portal terdapat spanduk yang menjelaskan bahwa kawasan ini milik Keraton Jogja. Nah, spanduk itu saat ini sudah mulai usang dan rusak karna memang konflik ini sudah berlangsung sangat lama.
Sebagai bentuk perlawanan warga Watu Kodok atas ketidakadilan yang dialami, warga melakukan aksi membentangkan spanduk di depan spanduk yang dipasang oleh Keraton. "Selamat datang di pantai Watu Kodok #Watukodokuntukwarga," demikian pesan yang dituliskan dalam spanduk berwarna hijau tersebut.
Mereka tidak memasang spanduk secara permanen, hanya sebatas membentangkan saja dengan harapan mereka mendapatkan keadilan sebagai warga negara Indonesia.
“Kami tidak butuh sugih (kaya), tetapi kami butuh ruang hidup. Itu tuntutan kami,” pungkas Pak Tupar.