Korupsi Minyak Mentah Pertamina: Modus Kecurangan, Permainan Impor dan Kerugian Negara Rp193,7 Triliun dalam 5 Tahun

Korupsi Minyak Mentah Pertamina: Modus Kecurangan, Permainan Impor dan Kerugian Negara Rp193,7 Triliun dalam 5 Tahun

RUANGBOGOR - Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan PT Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun dalam periode 2018 hingga 2023. Investigasi yang dilakukan Kejaksaan Agung mengungkap skema sistematis yang memungkinkan sejumlah pihak mengambil keuntungan dengan mengorbankan kepentingan publik.

Salah satu temuan utama dalam penyelidikan ini adalah adanya kebijakan produksi minyak kilang domestik yang secara sengaja dikurangi, sehingga menciptakan ketergantungan terhadap impor. Sesuai aturan, pasokan minyak mentah dalam negeri seharusnya diutamakan sebelum melakukan impor.

Namun, dalam praktiknya, beberapa pihak diduga mengondisikan hasil rapat optimasi hilir (OH) untuk menurunkan readiness kilang. Hal ini menyebabkan penolakan terhadap minyak mentah dari kontraktor dalam negeri dan mendorong impor dalam jumlah besar melalui jalur yang tidak transparan.

Penggelembungan Harga dan Oplosan Minyak

Analisis terhadap transaksi impor minyak menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara harga yang dibayarkan dengan kualitas produk yang diterima. PT Pertamina Patra Niaga, misalnya, tercatat membayar untuk produk berkualitas RON 92, tetapi yang diterima memiliki spesifikasi lebih rendah, seperti RON 88 atau RON 90.

Minyak dengan spesifikasi lebih rendah ini kemudian mengalami proses blending di fasilitas penyimpanan sebelum didistribusikan sebagai produk berkualitas lebih tinggi.

Proses blending sendiri bukanlah hal yang ilegal, tetapi dalam kasus ini dilakukan untuk menutupi fakta bahwa minyak yang diimpor sebenarnya tidak sesuai dengan harga yang telah disepakati.

Dengan kata lain, harga yang dibayarkan lebih tinggi daripada nilai riil minyak yang diterima. Skema ini memungkinkan pihak tertentu meraup keuntungan besar dengan merugikan negara dan konsumen.

Dalam skema ini, beberapa aktor kunci telah diidentifikasi. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, serta Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi, termasuk di antara tujuh tersangka yang telah ditetapkan Kejaksaan Agung.

Selain itu, Muhammad Kerry Andrianto Riza, anak dari pengusaha minyak Riza Chalid, juga diduga memiliki peran signifikan dalam jaringan ini sebagai pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa.

Tersangka lainnya meliputi pejabat di berbagai unit bisnis Pertamina yang bertanggung jawab atas pengelolaan minyak mentah dan produk kilang. Para tersangka ini diduga bekerja sama dengan broker swasta untuk memanipulasi harga dan spesifikasi impor, yang pada akhirnya menyebabkan lonjakan harga bahan bakar di pasaran.

Menurut perhitungan awal, kerugian negara akibat ekspor minyak mentah dalam negeri yang tidak transparan mencapai Rp 35 triliun. Sementara itu, penggelembungan harga impor minyak mentah melalui broker mengakibatkan kerugian sekitar Rp 2,7 triliun. Kerugian dari impor bahan bakar minyak (BBM) melalui jalur serupa mencapai Rp 9 triliun. Selain itu, kebijakan pemberian subsidi dan kompensasi yang dipengaruhi oleh skema ini juga menambah beban negara sebesar Rp 147 triliun dalam satu tahun terakhir.

Penyitaan aset dalam penyelidikan ini masih terbatas, dengan uang tunai Rp 970 juta yang ditemukan dalam penggeledahan rumah salah satu tersangka. Namun, investigasi masih berlangsung dan kemungkinan besar akan mengarah pada penyitaan aset lain yang terkait dengan aliran dana hasil korupsi ini.

Kasus ini bukan sekadar masalah penyimpangan dalam tata kelola minyak, tetapi juga cerminan dari lemahnya pengawasan terhadap kebijakan energi nasional. Dengan nilai korupsi yang mencapai hampir Rp 200 triliun, kasus ini masuk dalam kategori mega korupsi yang dampaknya sangat luas terhadap perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Penegakan hukum terhadap para tersangka menjadi tantangan tersendiri, mengingat kompleksitas jaringan korupsi yang melibatkan berbagai pihak dari sektor BUMN hingga swasta. Kejaksaan Agung masih terus mendalami alur transaksi dan keterlibatan pihak lain, yang kemungkinan akan menambah daftar tersangka di kemudian hari.

Dalam jangka panjang, perbaikan sistem pengelolaan minyak dan transparansi dalam impor serta distribusi BBM menjadi langkah krusial untuk mencegah kasus serupa terulang kembali. Publik pun menanti langkah tegas pemerintah dan aparat hukum dalam menyelesaikan skandal ini secara tuntas.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index