Korupsi Minyak Pertamina: Modus Impor Fiktif, Mark Up Harga, dan Oplosan BBM yang Merugikan Negara Rp193,7 Triliun

Korupsi Minyak Pertamina: Modus Impor Fiktif, Mark Up Harga, dan Oplosan BBM yang Merugikan Negara Rp193,7 Triliun

RUANGBOGOR - Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak di Pertamina, dengan kerugian negara yang mencapai Rp193,7 triliun.

Korupsi ini berlangsung dalam kurun waktu 2018 hingga 2023 dan melibatkan berbagai modus operandi, termasuk pengaturan impor minyak mentah dan produk kilang, serta manipulasi harga melalui perantara atau broker.

Pola Korupsi dan Modus Operasi

Berdasarkan analisis data Kejaksaan Agung, terdapat lima komponen utama yang menjadi penyebab kerugian negara:

Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri – Rp35 triliun.

Kerugian impor minyak mentah melalui broker – Rp2,7 triliun.

Kerugian impor BBM melalui broker – Rp9 triliun.

Kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 – Rp126 triliun.

Kerugian pemberian subsidi tahun 2023 – Rp21 triliun.

Korupsi terjadi dengan cara menurunkan produksi kilang minyak dalam negeri sehingga pasokan minyak mentah lokal harus diekspor.

Selanjutnya, kebutuhan minyak dalam negeri dipenuhi dengan impor melalui broker yang menetapkan harga lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar yang seharusnya.

Selain itu, ditemukan praktik manipulasi kualitas bahan bakar, yakni impor bensin RON 90 dengan harga RON 92, lalu melakukan pencampuran (blending) agar sesuai dengan standar RON 92 yang lebih mahal.

Pihak yang Bertanggung Jawab:

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan

Riva Siahaan bersama pejabat lainnya menciptakan kondisi yang menurunkan produksi kilang dalam negeri, sehingga terjadi ketergantungan pada impor minyak mentah. Ia juga diduga memenangkan broker minyak mentah secara ilegal.

Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin

Sani Dinar menolak pasokan minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan alasan tidak sesuai spesifikasi. Akibatnya, minyak mentah domestik harus diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri dipenuhi melalui impor dengan harga lebih tinggi.

Direktur PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi

Yoki Firnandi bertanggung jawab atas pengadaan impor minyak dengan mark-up harga sebesar 13% hingga 15% dari harga asli, sehingga negara membayar lebih dari yang seharusnya.

Pihak Swasta dan Broker

Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), selaku pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa, mendapatkan keuntungan dari markup kontrak pengiriman minyak.

Dimas Werhaspati (DW) dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ), sebagai komisaris perusahaan broker, mengatur harga impor minyak mentah lebih tinggi sebelum memenuhi syarat administrasi.

Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya, dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne

Kedua pejabat ini membeli BBM RON 90 dengan harga RON 92 dan melakukan pencampuran (blending) agar sesuai dengan standar RON 92. Hal ini mengakibatkan pembayaran impor yang lebih tinggi dari seharusnya. Selain itu, metode pembayaran yang digunakan adalah sistem spot atau penunjukan langsung, bukan term atau jangka panjang yang bisa menghasilkan harga lebih kompetitif.

Tindakan para tersangka tidak hanya menyebabkan kerugian keuangan negara, tetapi juga berdampak pada harga bahan bakar di masyarakat. Manipulasi harga minyak ini turut mempengaruhi besaran subsidi BBM yang dikeluarkan dari APBN. Dengan kata lain, masyarakat secara tidak langsung menanggung dampak dari praktik korupsi ini melalui kenaikan harga BBM dan beban subsidi yang lebih besar.

Kasus ini menegaskan bahwa korupsi di sektor energi memiliki dampak luas, mulai dari stabilitas ekonomi hingga kesejahteraan masyarakat. Dengan keterlibatan pejabat tinggi di Pertamina serta pihak swasta, Kejaksaan Agung menghadapi tantangan besar dalam memastikan seluruh pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal serta mencegah praktik serupa di masa mendatang.
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index