RUANGBOGOR - Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) semakin menyeruak ke permukaan. Dengan angka kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun berdasarkan hitungan sementara penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung), publik mulai mempertanyakan siapa yang harus bertanggung jawab dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat luas.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Fadhil Alfathan, menegaskan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat praktik korupsi ini berhak mendapatkan pemulihan berupa kompensasi atau ganti rugi. "Masyarakat harus mendapat keadilan karena hak-hak mereka telah direnggut oleh praktik ilegal yang dilakukan oleh oknum di Pertamina," ujarnya pada Jumat, 28 Februari 2025.
LBH Jakarta pun membuka pos pengaduan bagi masyarakat yang merasa dirugikan akibat dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) RON 90 dengan RON 92. Sejak Rabu, 26 Februari 2025, telah masuk 426 pengaduan secara daring, yang nantinya akan dibawa ke pengadilan sebagai bagian dari proses hukum terhadap para tersangka.
Dugaan praktik pengoplosan minyak ini melibatkan sejumlah nama besar, baik dari internal Pertamina maupun pihak swasta. Dua tersangka terbaru dalam kasus ini adalah Maya Kusmaya (Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga) dan Edward Corne (VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga), yang dengan persetujuan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, melakukan blending produk minyak berkualitas rendah untuk dijual dengan harga premium.
Praktik ilegal ini tidak hanya melibatkan oknum dalam Pertamina, tetapi juga pengusaha minyak terkenal, Muhammad Kerry Andrianto Riza, anak dari Riza Chalid, yang dikenal sebagai "The Gasoline Godfather" di Indonesia. Selain itu, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi, juga ikut terlibat.
Dari hasil penyelidikan Kejagung, total kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp193,7 triliun. Kerugian tersebut berasal dari lima komponen utama, di antaranya ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, dan impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun. Selain itu, pemberian kompensasi tahun 2023 mencapai Rp126 triliun, dan subsidi yang dikeluarkan negara pada tahun 2023 sebesar Rp21 triliun.
Namun, angka ini belum memperhitungkan kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat konsumsi BBM yang kualitasnya lebih rendah dari yang seharusnya. Hal ini memicu desakan dari berbagai pihak agar pemerintah segera menetapkan skema kompensasi bagi konsumen yang dirugikan.
Nama Riza Chalid bukanlah pemain baru dalam bisnis minyak dan gas di Indonesia. Dia telah lama dikenal sebagai broker utama dalam berbagai transaksi impor minyak mentah ke Pertamina. Dalam laporan audit forensik Petral oleh KordaMentha pada 2015, disebutkan bahwa Riza Chalid mengendalikan jaringan perusahaan minyak yang terlibat dalam pengadaan minyak mentah untuk Indonesia.
Kasus terbaru yang menyeret anaknya, Muhammad Kerry Andrianto Riza, semakin mempertegas keterlibatan kelompok bisnisnya dalam praktik-praktik korupsi yang merugikan negara. Dalam penggeledahan yang dilakukan Kejagung di rumah dan kantor Riza Chalid, ditemukan dokumen penting serta uang tunai sebesar Rp833 juta dan 1.500 dolar AS.
Skandal ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menimbulkan dampak luas bagi masyarakat. Masyarakat yang membeli BBM dengan harga tinggi namun kualitasnya lebih rendah dari yang dijanjikan, berhak atas kompensasi yang adil. LBH Jakarta dan Celios menekankan bahwa skema kompensasi harus dibuat agar dana hasil korupsi tidak hanya masuk ke kas negara, tetapi juga dikembalikan kepada masyarakat yang menjadi korban langsung.
Ke depan, investigasi ini harus terus berlanjut untuk mengungkap semua pihak yang terlibat dalam jaringan korupsi minyak di Pertamina. Penegakan hukum yang tegas dan transparan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kasus ini tidak hanya berhenti di meja hijau, tetapi juga membawa perubahan sistemik dalam tata kelola energi nasional.