RUANGBOGOR - Kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) kembali mencuat, kali ini dengan dugaan skema pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.
Praktik korupsi ini bukanlah fenomena baru, melainkan modus lama dengan pelaku baru yang terus mencari celah dalam sistem yang rentan terhadap penyalahgunaan.
Sebagai perusahaan energi terbesar di Indonesia, Pertamina memiliki kendali penuh terhadap distribusi BBM.
Monopoli ini menciptakan lingkungan yang rawan korupsi, terlebih dengan transaksi bernilai besar yang melibatkan banyak pihak.
Berdasarkan analisis dari Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada tiga faktor utama yang memungkinkan korupsi ini terus terjadi.
Pertama, dominasi Pertamina dalam pasar BBM nasional membuat pengawasan menjadi sulit. Ketika tidak ada persaingan sehat dan pengawasan lemah, praktik ilegal seperti pengoplosan dapat berlangsung tanpa kontrol yang ketat.
Kedua, besarnya margin keuntungan dalam transaksi BBM menjadi insentif bagi oknum di dalam perusahaan untuk menyalahgunakan wewenang.
Ketiga, sikap pemerintah terhadap kasus-kasus korupsi di BUMN sering kali tidak konsisten, menciptakan ruang bagi pelaku untuk beroperasi dengan minim konsekuensi hukum.
Modus Pengoplosan BBM dan Dampaknya
Berdasarkan temuan Kejaksaan Agung, PT Pertamina Patra Niaga diduga melakukan praktik blending atau pengoplosan BBM, di mana bahan bakar dengan kadar oktan lebih rendah (RON 90) dicampur dengan zat aditif agar menyerupai BBM berkualitas lebih tinggi (RON 92).
Hal ini berarti masyarakat membayar harga Pertamax, tetapi mendapatkan produk yang sebenarnya lebih rendah kualitasnya.
Pengoplosan ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memberikan dampak langsung pada masyarakat. Data dari posko pengaduan yang dibuka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menunjukkan bahwa lebih dari 526 orang melaporkan berbagai kerugian akibat BBM oplosan.
Keluhan meliputi peningkatan biaya operasional kendaraan, penurunan performa mesin, hingga kerusakan kendaraan yang membutuhkan perbaikan mahal.
Selain dampak ekonomi, kasus ini juga berimplikasi pada krisis kepercayaan publik terhadap Pertamina dan pemerintah.
Banyak masyarakat skeptis terhadap penyelesaian kasus ini, bahkan sebagian mengusulkan agar Pertamina dibubarkan. Kepercayaan yang tergerus ini dapat berdampak panjang pada stabilitas sektor energi nasional.
Menanggapi kasus ini, LBH Jakarta tengah mempertimbangkan dua jalur hukum utama: gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan gugatan perwakilan kelompok (class action).
Jika terbukti ada kelalaian dalam regulasi pemerintah terkait tata kelola BBM, maka gugatan citizen lawsuit akan diajukan terhadap negara. Namun, jika akar masalahnya ada pada implementasi kebijakan yang buruk oleh Pertamina, maka LBH akan mengajukan class action mewakili para konsumen yang dirugikan.
Upaya hukum ini bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ganti rugi bagi masyarakat, tetapi juga untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam industri migas.
Salah satu tuntutan utama adalah perlunya audit independen terhadap sistem distribusi BBM, agar publik mendapatkan informasi yang jelas mengenai kualitas BBM yang mereka konsumsi.